Selasa, 06 Maret 2012

hadis sahih dan hasa


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kajian hadis tidak henti-hentinya dilaksanakan sejak dari zaman dahulu sampai zaman sekarang,  karena hal ini adalah kebutuhan bagi dua kelompok, kelompok pertama, yaitu bagi para orientalis yang ingin mengkaji hadis untuk menambah khazanah keilmuan mereka, atau untuk menjatuhkan hadis untuk menambah khazi>nah mereka.
Adapun kelompok kedua adalah kelompok muslim, yaitu kelompok yang mengkaji hadis yang tidak hanya untuk menambah khazanah keilmuan mereka dan tapi juga untuk menjaganya.
Fakta bahwa para orientalis sangat gesit dan memiliki semangat yang sangat besar dalam mengkaji hadis nabi, seharusnya membuat ummat muslim dewasa ini iri dan menjadi lebih giat lagi dalam mengkaji dan mempertahankan hadis mereka, hadis yang merupakan rujukan kedua setelah al-qur’an dalam berbagai masalah.
Beberapa permasalahan yang sering disentuh oleh para orientalis adalah permasalahan kesahihan hadis. Mereka menggunakan berbagai cara, jalan, dan penafsiran untuk mengkaburkan atau bahkan mengkritik kaedah penetapan kesahihan hadis, karna ketika kaedah penetapan kesahihan hadis berhasil dikaburkan, maka otomatis hadis-hadis yang lahir dari kaidah penetapan kesahihan hadis tersebut bisa diragukan atau bahkan tidak dianggap sahih lagi.


B.    Rumusan Masalah
Berdasar pada beberapa masalah yang diungkapkan di atas, maka pemateri merasa ada beberapa masalah yang harus dibahas, pembahasan untuk menambah khazanah atau untuk menjaga khazinah keilmuan kita. berikut ini ada beberapa rumusan masalah yang akan dibahas, diantaranya:
1.    Apa defenisi hadis sahih dan hadis hasan?
2.     Bagaimana pembagian hadis sahih dan hadis hasan serta sayarat-syaratnya?
3.    Apa contoh hadis sahih dan hadis hasan serta kehujjaannya?

















BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi Hadis Sahih dan Hasan
1.  Defenisi hadis sahih.
Secara bahasa, kalimat sahih adalah lawan dari kata sakim,  kata sahih yang berarti sehat adalah lawan kata dari saki>m yang berarti sakit. Adapun secara istilah atau terminologis, maka para ulama berbeda-beda dalam  mendefenisikannya, diantaranya:
a.    Imam Ibn S{ala>h
Beliau menyebutkan bahwa hadis sahih adalah Al musnadu allaz\y yattas}ilu isna>duhu binaqli adlin d}abit}i an adli dabiti ila> muntahahu, wala> yakunu sya>z\an wala> mu‘allan1. yang artinya hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya, dipindahkan oleh orang yang adil dan cerdas dari orang yang sama sampai diakhirnya, tidak sya>z\ (keanehan) dan tidak ada illat(cacat).[1]
b.    Imam T{a>ha Ibn Muhammad Al-Baiqu>ny.
Beliau menyebutkan dalam manz}u>mahnya bahwa hadis sahih adalah “as}s}ah}i>h}u wahua mattas}al, isna>duhu walam yasyuz\ walam yu‘al, yarwi>hi ‘adlun d}a>bitun ‘an mis}lihi, mu’tamadun fi d}abtihi wa naqlihi.[2] yang artinya adalah, hadis s}ahih adalah hadis yang bersambung sanadnya, tidak ada sya>z\ dan tidak ada ‘illat, diriwayatkan oleh orang yang adil dan cerdas dari orang yang semisal dengan mereka, yang diyakini kecerdasan dan periwayatan mereka.
c.    Imam Al- Khatta>by
Menurut beliau defenisi hadis sahih adalah “ma ittas}ala sanaduhu wa ‘uddilat naqatuhu”[3] atau yang artinya, hadis yang bersambung sanadnya, dan dianggap adil ra>winya. Khusus pengertian yang agak berbeda dengan dua pengertian sebelumnya ini ada komentar ulama tentang pengertian ini, salah satunya disampaikan oleh Imam Ira>qy, beliau berkata yang artinya “ kenapa beliau tidak mensyaratkan d}abt} ra>wi  dan selamat dari syaz\ dan ‘illat”[4]. maka Imam As- Suyuti memberikan penjelasan tentang hal ini dalam kitabnya Tadribu Ar- Rawi  yang artinya bahwa “ yang nampak bagi saya adalah bahwa hal tersebut masuk dalam pengertian, karna ada perbedaan antara kata adlun dan addaluhu, karna orang yang sering melakukan kesalahan tidak berhak dikatakan bahwa dia telah dikategorikan adil oleh ulama hadis, biarpun dia memiliki sifat adil dari segi agamanya, maka renungkanlah”[5]
Dari beberapa pengertian di atas, mungkin tampak bahwa ketiga ulama diatas berbeda-beda dalam mendefenisikan hadis sahih, akan tetapi bila diteliti lebih jelas, maka nampaklah bahwa maksud dari defenisi mereka adalah sama, hanya saja cara mereka membahasakan defenisi tersebut yang sedikit berbeda.


2.  Defenisi hadis hasan.
Seperti halnya dengan hadis sahih, hadis hasan juga mempunyai pengertian baik itu secara bahasa atau secara istilah. Adapun secara bahasa, Ibn Fa>ris menyebutkan dalam Mu’jam Maqa>yi>s al-Lugah,  bahwa الحسن ضد القبح,[6] artinya kata hasan yang berarti baik adalah lawan dari kata qabhu yang berarti buruk.
Adapun dari segi istilah atau terminologisnya, hadis hasan memiliki pengistilahan yang berbeda-beda di kalangan ulama hadis. Hal tersebut karna hadis hasan berada diantara hadis sahih  dan hadis daif. Di antara para ulama hadis yang mendefinisikan hadis hasan  adalah:
a.    Imam Al- Jauziy
Beliau menefinisikan hadis hasan dengan “Al h}adi>s\ allazi> fi>hi> d}a’fun qari>bun muh}tamalun”.[7] Yang artinya, hadis hasan adalah hadis yang didalamnya ada sedikit kelemahan yang bisa diterima.
b.    Ibn Hajar Al- Asqala>ny
Beliau mendifenisikan hadis hasan dalam kutipan pernyataannya, yaitu “wa khabaru al-ahad binaqli ‘adlin ta>m d}abt}i, muttas}il musnad gairu muallal wala> sya>z\ hua al-sahi>hu liz\a>tihi, fain khaffa al-d}abt}u fahua al h}asanu liz\a>tihi”[8]. yang artinya adalah, khabar aha>d yang diriwayatkan oleh orang yang adil dan sempurna kecerdasannya dan hafalannya, tersambung dan sampai kepada nabi dan tidak ada sya>z\ ataupun illat maka hadis itu adalah s{ah{i>h{ liz\a>tihi,  akan tetapi jika kecerdasan dan kekuatan hafalannya lemah, maka hadisnya adalah hadis h}asan liza>tihi.
c.    Imam Tirmizi
Beliau mendefenisikan hadis hasan dengan “semua hadis yang diriwayatkan yang di dalam sanadnya tidak ada perawi yang dituduh sebagai pendusta, dan hadis tersebut tidak sya>z\, dan diriwayatkan lebih dari satu jalur periwayatan yang sama kualitasnya, maka bagi kami itu adalah hadis hasan.[9]
Berdasar pada pengertian yang diungkapkan oleh Imam Al- Jauzy di atas, kita melihat bahwa beliau mendudukkan hadis hasan berada sedikit dibawah kedudukan hadis sahih, tetapi beliau tidak menegaskan dimana letak kekurangan hadis hasan  dari hadis sahih.  Sama halnya dengan Imam Tirmizi, dalam pengertiannya tentang hadis hasan, beliau juga tidak menyebutkan pengertian yang jelas yang membedakan antara hadis hasan dengan hadis sahih.
Perbedaan antara hadis hasan dengan hadis sahih, yaitu kesempurnaan kecerdasan dan hafalan pada hadis sahih,  dan kurang sempurnanya kedua hal tersebut dalam hadis  hasan.
B. Pembagian Hadis Sahih  dan Hadis Hasan
Sebagaimana yang telah kita pelajari sejak lama, bahwa para ulama hadis membagi setiap dari hadis sahih  dan hadis hasan masing-masing kedalam dua bagian, yaitu:
1.    S}ah}i>h} liz\a>tihi dan s}ah}i>h} ligairihi.
a.    S}ah}i>h} liz\a>tihi,  adalah hadis sahih  yang berdasar pada pengertian hadis sahih  di atas, yaitu hadis yang bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah, diriwayatkan oleh orang yang adil  atau yang biasa kita artikan dengan sifat seseorang yang selalu menjaga dirinya dari dosa kecil terlebih lagi dari dosa besar, dan d}a>bit}  atau kecerdasan dan kekuatan hafalan, meriwayatkan dari orang yang adil dan dhabit  juga, tidak sya>z\  dan tidak ada ‘illat.
Imam Az-Zahaby dalam mendefenisikan hadis s}ah}i>h} liz\a>tihi berkata “fain naqalahu ‘adlun bian lam yakun fa>siqan wala> majhu>lan, tam d}abt}i bian lam yakun mugfilan au akhaf minhu, muttas}ilu al sanadi gairu muillun wala> sya>z\un fas}ah}i>h}un liz\a>tihi” [10], yang artinya adalah, jika hadis tersebut diriwayatkan oleh orang yang adil, yaitu bukan orang yang fasiq dan asing, sempurna kecerdasannya, yaitu bukan orang sering lalai atau yang lebih dari itu, tersambung sanadnya, tidak ada cacat, dan tidak ada keanehan, maka hadis tersebut adalah hadis s}ah}i>h} liz\a>tih}i.
Berdasar pada pengertian di atas, kita dapat memahami bahwa hadis s}ah}i>h} liz\a>tih}i sesuai dengan artinya, ia tidak membutuhkan bantuan dari jalur periwatan yang lain untuk mencapai derajat sahih, kesahihan tersebut lahir dari hadis itu sendiri.
Salah satu dari contoh hadis s{ah{i>h{ liz\a>tihi adalah hadis rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya (dari Abdullah Ibn Yusuf dari Malik dari Ibn Syiha>b dari Muhammad Ibn Jubair Ibn Mut’im dari ayahnya berkata: saya mendengar Rasulullah SAW membaca surah At- Thur dalam sholat maghrib.[11]
Hadis ini adalah contoh dari hadis s}ah}i>h} liz\a>tih}i, kita dapat melihat bahwa semua syarat hadis sahih  semuanya terpenuhi dalam hadis ini, mulai dari ketersambungan sanad, ke’adilan  dan ked}abtan} periwayatnya, dan bebasnya hadis ini dari sya>z\  dan juga ‘illat.
b.    Adapun hadis s}ah}i>h} ligairihi, adalah hadis hasan  yang terangkat derajatnya menjadi sahih karna diriwayatkan oleh banyak jalur periwayatan. Dengan kata lain, terangkatnya sebuah hadis dari derajat hasan  menjadi derajat  sahih  adalah karna banyaknya jalur periwayatan yang mendukung kandungan hadis tersebut.
Ibn S}ala>h} dalam memberikan keterangan tentang hadis s}ah}i>h ligairihi beliau berkata, jika perawi hadis itu tidak mencarapai derajat ahlul hifz\i wal itqa>ni, akan tetapi dia terasuk orang-orang yang terkenal dengan kejujurannya, dan selain itu hadisnya juga diriwayatkan dari jalur yang lain , maka hal tersebut akan menambah kualitas kekuatan hadis tersebut dari dua sisi, oleh karna itu hadisnya terangkat dari derajat hadis hasan menjadi hadis sahih.[12]
Dalam kitab Mausu‘ah ‘Ilmu Hadi>s\ disebutkan bahwa \Prof. Dr, Muhammad ‘Ali Ahmadin juga menambahkan dalam bukunya yang berjudul d}au’ al-qamar, beliau menyebutkan bahwa hadis s}ah}i>h} ligairihi  adalah hadis h}asan liz\a>tihi akan tetapi hadis tersebut ditopang oleh hadis lain yang lebih kuat darinya atau yang sama kuatnya, atau yang lebih lemah darinya tapi dengan banyak jalur [13].
Salah satu contoh hadis s}ahi>h ligairihi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya, yaitu hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muhammad Ibn Amru dari Abi Salmah dari Abu Hurairah berbunyi “ لولا أن أشق علي أمتي لأمرتهم بالسواك مع كل صلاة”.
   Hadis ini dikategorikan sebagai hadis s}ah}i>h ligairihi  karna Muhammad Ibn Amru Ibn Alqa>mah adalah salah satu orang terkenal dengan kejujurannya, akan tetapi dia bukanlah orang yang sempurna kecerdasannya, oleh karna itu ada sebagian orang yang menilainya lemah dari segi hafalan, tapi sebagian lagi menilainya s\iqah karna  kejujurannya, maka hadisnya adalah hadis h}asan liz\a>tihi sekaligus s}ahi>h ligairihi  karna hadis ini juga diriwayatkan dari jalur periwayatan yang lain. [14]
Hadis ini juga terdapat di tempat lain dalam kitab sahih Bukhari, yaitu pada urutan hadis yang ke 7240 dengan jalur sanad yang berbeda dengan jalur sanad yang pertama, dan terdapat pula dalam kitab Jam‘u al-Jawa>mi‘  karangan Imam al- Suyu>ti> pada jilid 7 halaman 161, dan hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu daud, Imam al-Nasa’i, Imam Tirmiz}I dan Imam Ahmad, semua hadis ini menjadi penguat sehinggga hadis yang tadinya hasan, terangkat derajatnya menjadi s}ah}i>h} ligairi.


2.    H{asan liz\a>tihi dan h}asan ligairihi
Sebagaimana hadis sahih, hadis hasan  juga dibagi atas h}asan liz\a>tihi dan h}asan ligairihi  yang masing masing pengertiannya adalah:
a)    H{asan liz\a>tihi, adalah hadis  hasan  dalam pengertian yang telah dikemukakan di atas, yaitu hadis yang didalamnya terdapat syarat-syarat hadis sahih kecuali satu, yaitu kurangnya kekuatan hafalan seorang perawi. Atau kita juga bisa mengatakan bahwa hadis h}asan liz\a>tihi  sebenarnya adalah hadis sahih yang turun derajatnya menjadi hadis h}asan liz\a>tihi, karna dalam jalur sanad periwayatannya ada satu atau lebih perawi  yang lemah hafalannya.
Dalam mendefenisikan hadis hasan ulama hadis klasik memiliki defenisi atau ungkapan yang berbeda beda, tetapi pada dasarnya inti dari defenisi mereka adalah bahasan adalah hadis yang tingkat kekuatannya lebih dari hadis daif tetapi tidak mencapai hadis sahih.
b)   H{asan ligairihi.
Dalam kitab  Qawa>id al-Tahdi>s\, Jamaluddin al-Qa>simi> disebutkan bahwa hadis  h}asan ligairihi  asalnya adalah hadis daif, akan tetapi naik kederajat hasan karna adanya pendukung dari hadis yang lain, maka  hadis tersebut menjadi kuat, seandainya tidak ada penguat dari hadis yang lain, maka hadis tersebut akan tetap pada kedaifannya[15].
Sama seperti pada hadis s}ah}i>h} ligairihi, hadis  h}asan ligairihi  juga terangkat derajatnya dari hadis daif menjadi hadis h}asan ligairihi karna adanya jalur periwayatan lain yang mendukung hadis tersebut.
Salah satu contoh hadis h}asan ligairihi adalah hadis yang terdapat pada kitab Sunan al-Kubra, yaitu hadis Rasulullah " أرضيت من نفسك ومالك بنعلين قالت نعم فأجازه " salah satu periwayat hadis ini adalah ‘A<s}im bin ‘Ubaidillah para ulama menilainya sebagai seorang yang daif[16], tetapi hadis in idiriwayatkan oleh banyak jalur, yang membuatnya terangkat dari derajat hadis daif menjadi hadis h}asan ligairihi.
Pertimbangannya adalah, kemunginan kebenaran suatau hadis akan berbeda ketika hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh satu atau dua jalur periwayatan,  dibandingkan ketika hadis tersebut diriwayatkan dari banyak jalur periwayatan, hal tersebut akan menambah keyakinan kita untuk lebih menerima hadis tersebut.
Dan satu pertimbangan lagi, seorang perawi yang lemah hafalannya itu tidak selamanya berada pada titik yang sama,  tidak menutup kemungkinan bahwa ada beberapa hadis yang dia hafal dengan ingatan yang sangat kuat, apalagi ketika hal tersebut dikuatkan dengan banyaknya jalur sanad yang menguatkan hadis tersebut, maka keyakinan kita pada kebenaran hadis tersebut akan menjadi lebih besar, sehingga hadis yang tadinya daif tapi dengan adanya dukungan dari jalur periwayatan yang lain bisa terangkat derajatnya menjadi hadis h}asan ligairihi.
2.  Syarat-Syarat Hadis Sahih dan Hadis Hasan
1.    Syarat-syarat hadis sahih.
Berdasar pada pengertian hadis sahih  yang dipilih oleh para ulama diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi sebuah hadis untuk bisa mencapai derajat sahih  itu ada lima, yaitu:
a)    Ketersambungan sanad
Syarat ini menjadi sayarat inti dalam kriteria kesahihan hadis, dengan kata lain seorang perawi harus bertemu langsung dengan orang yang ia riwayatkan hadis darinya, hal itu jika kita menggunakan syarat Imam Bukhari, tetapi jika kita menggunakan syarat ketersambungan sanad yang dipegang oleh Imam Muslim, maka seorang periwayat hanya harus semasa dengan orang yang ia ambil hadis darinya.
Kenapa syarat ini amat penting, sampai-sampai Imam Bukhari mengharuskan adanya kepastian bahwa sang perawi pernah bertemu dengan orang yang ia  ambil hadis darinya, karna ini menyangkut perkataan Rasulullah yang diucapkan beliau sekitar seribu lima ratus tahun yang lalu, yang kita hanya bisa meyakini kebenarannya jika ada ketersambungan sanad dari penulis hadis sampai kepada Rasulullah SAW.
b)   ‘Ada>lah (keadilan) setiap periwayatnya
‘Ada>lah  atau yang biasa kita artikan sifat adil bagi para periwayat hadis, memiliki dua syarat, yaitu perawinya selamat dari sifat fasiq dan menjaga muru>‘ah  (kehormatan atau harga diri). Selamat dari sifat fasiq berarti memberikan kita dua pengertian, yaitu periwayat tersebut tidak melakukan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil.
Adapun persyaratan menjaga muru>ah (kehormatan atau harga diri) memberikan kita pemahaman bahwa seorang periwayat harus menjaga dirinya dari hal-hal yang bisa merusak kehormatan dirinya, atau merusak harga dirinya. Ketika periwayat memenuhi dua kriteria tadi maka dia pantas mendapatkan gelar adil.
c)    D{abt} (kecerdasan hafalan)
Kata d}abt}  dalam istilah ilmu hadis terbagi menjadi dua, d}abt} hifz} (menjaga hafalan) dan d}abt} kita>bah (menjaga catatan). Menjaga hafalan artinya seorang periwayat mampu menghafal hadis sesuai dengan yang ia dengar, dan bisa menyampaikannya seperti yang ia dengan kapanpun dia mau. Adapun menjaga catatan berarti seorang periwayat mampu menjaga catatannya sejak ia mencatatnya sampai ia menyampaikannya.
d)   Tidak sya>z\ (kejanggalan atau keanehan)
Kata sya>z\  menurut bahasa berarti sendiri, adapun menurut istilah yaitu suatu hadis yang perawinya berbeda (dalam hal penyampaian matan hadis) dengan perawi yang lebih kuat ( jumlah, sifat, keadaan)[17]
e)    Tidak illat (cacat atau aib)
Kata illat  berbeda pemaknaannya dengan kata cacat yang biasa kita fahami, kata illat  menunjukkan pada sebuah cacat atau aib yang tersembunyi, yang tidak tampak kecuali setelah dilakukan penelitian, oleh karna itu keterputusan sanad tidaklah dinamakan illat karna setiap orang bisa melihatnya, illat  hanya digunakan untuk mensifati sebuah cacat atau aib yang tersembunyi dalam sebuah sanad atau matan hadis.
Ini adalah lima sayarat yang harus dipenuhi sebuah hadis untuk bisa dikategorikan sebagai hadis sahih lizatihi, adapun jika syarat ketiga (dhabt) tidak semputna, maka hadisnya hanya mencapai derajat hasan.
2.    Syarat-syarat hadis hasan.
Ketika kita memperpegangi pendapat Imam Ibn Hajar Al- Asqala>ny maka perbedaan antara syarat-syarat hadis sahih dengan hadis hasan  hanya terletak pada kecerdasar atau hafalan perawinya. Ketika para periwayat suatu hadis memiliki kesempurnaan kecerdasan dan hafalan maka hadis yang ia riwayatkan adalah hadis sahih, akan tetapi bila semua perawi atau salah satu dari perawinya ada yang lemah hafalannya maka hadis yang ia riwayatkan hanya terhenti pada derajat hasan, kecuali jika hadis tersebut diriwayatkan dengan banyak jalur maka hadis itu terangkat dari derajat hasan  menjadi s}ah}i>h} ligairihi.
3.    Kehujjahan Hadis Sahih dan Hadis Hasan
Kehujjaan hadis sahih  merupakan hal yang sudah disepakati oleh ulama, baik itu ulama hadis, ulama fikhi ataupun ulama ushul, baik itu dalah permasalahan aqidah atau dalam masalah fikhi. Adapun kehujjahan hadis hasan, ada sebagian ulama yang tidak menerimanya untuk dijadikan dasar hukum kecuali jika ada hadis lain yang menguatkan, karna mereka berpenapat ketika seorang rawi tidak kuat hafalannya, maka bagaimana kita bisa menjamin bahwa yang disampaikannya adalah betul-betul2 hadis dari Rasulullah SAW.[18]
Tetapi Imam Muhammad Ibn Shaleh Al- Usaimin berkata dalam Nuzhatun Nazr yang merupakan penjelasannya atas kitab Nukhbatu Al- Fikr bahwa kami tetap mengamalkan hadis hasan tersebut atas dasar perasangka baik kepada perawi tersebut. [19]
Sehingga dapat dikatakan bahwa hadis sahih dan hasan  berikut pembagiannya adalah sumber hukum, dan dapat dijadikan hujjah , biarpun derajat hadis hasan sedikit lebih rendah dibandingkan derajat hadis sahih tapi hal tersebut tidak menjadikan hadis hasan  keluar dari kehujjahannya sebagai sumber hukum.






BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa kesimpulan sebagai beriku :
1)        Hadis sahih  adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil, d}abt}, tidak sya>z\ dan tidak illat.
2)        Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang adil tetapi kurang ked}abit}annya, tidak sya>z\  dan tidak ada illat,  dan jika hadis hasan diriwayatkan lebih dari satu jalur maka hadis tersebut berubah derajatnya dari hasan  menjadi s}ah}i>h} ligairihi.
3)        Hadis h}asan ligairihi  adalah hadis d}ai>f  dengan kedhaifan yang ringan, dan diriwayatkan oleh beberapa jalur periwayatan, maka hadis tersebut berubah dari derajat dhaif  menjadi h}asan ligairihi.
4)        Semua pembagian hadis diatas adalah hujjah  yang bisa diamalkan dan diperpegangi oleh kebanyakan ulama.







DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqala>ni>>, Ibn Hajar, Syarh Nuz\hatu al- Nazr Fi> Taud}i>h Nukhbatu al Fikr Fi> Mus}t}alah Ahli al- As\r, Damaskus: Maktabah al-Dabba>h, 2000.
Al- Baiqu>ni>, T{a>ha H{usein Muhammad , Al-Manz}u>mah al-Baiquniyah, Cet. I; Kairo: Da>r al-Sala>m, 2002.
Al-Jauzi>, Ibn,  Al-Maud}u>‘a>t Min al-Aha>di>s\ al-Marfu‘a>t, (Juz I; Riya>d}: Adawa>’u al- Salaf, 1997.
Al-Khati>b, Ajja>j , ‘Us}u>l al-Hadis\  Ulu>mihi Wa Mus}t}alah}ihi, Cet VII: Da>r Ibn H{az\m, 1997.
Al-Suyu>ti>, Jala>l al- Di>n , Tadri>b al Ra>wi>, Kairo: Da>r al- H{adis\, 2004.
Al-Tirmiz\i>, Abu ‘ii>sa Muhammad bin ‘I<sa bin Surah , ‘Ilal al_s}agi>r , Riya<d}: Da>r Ma‘a>rif.
Al-Qa>simi>, Jamaluddin , Qawa>id al-Tah}dis\, Da>r al-Kutub.
Al-‘Us\aimi>n, Muhammad S}a>leh  Syarh Nuz}hatu al-Naz}r, Cet. I; Maktabah Islamyah, 2006.
Ibn Fa>ris, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz II; Suriyah: Da>r al-Fikr, 1979.
Majlis al-A‘la Li Syu‘u>n Isla>miyah, Mausu‘ah ‘Ilmu al-H{adi>s\, Kairo: Majlis al-A’la Li Syu‘u>n Isla>miyah, 2008.



[1] ‘Us}ma>n bin ‘Abdu al- Rahma>n al Syahraz}wari>, Muqaddimah ibn S|ala>h} fi> ‘Ulu>m al H{adis}\ (Cet. I; Beirut: Da>r al- Kutub ‘Ilmyah, 2003) h. 19
[2]  T{a>ha H{usein Muhammad al- Baiqu>ni>, Al-Manz}u>mah al-Baiquniyah, (Cet. I; Kairo: Da>r al-Sala>m, 2002) h. 3
[3]  Jala>l al- Di>n al Suyu>ti>, Tadri>b al Ra>wi>, (Kairo: Da>r al- H{adis\, 2004) h. 46
[4]  Ibid.
[5] Ibid.
[6]  Ibn Fa>ris, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, (Juz II; Suriyah: Da>r al-Fikr, 1979) h. 75
[7] Ibn al-Jauzi>, Al-Maud}u>‘a>t Min al-Aha>di>s\ al-Marfu‘a>t, (Juz I; Riya>d}: Adawa>’u al- Salaf, 1997) h. 35
[8] Ibn Hajar, Syarh Nuz\hatu al- Nazr Fi> Taud}i>h Nukhbatu al Fikr Fi> Mus}t}alah Ahli al- As\r, (Damaskus: Maktabah al-Dabba>h, 2000) h. 33
[9] Abu ‘ii>sa Muhammad bin ‘I<sa bin Surah al-Tirmiz\i>, ‘Ilal al_s}agi>r ,(Riya<d}: Da>r Ma‘a>rif) h. 887
[10] Majlis al-A‘la Li Syu‘u>n Isla>miyah, Mausu‘ah ‘Ilmu al-H{adi>s\, (Kairo: Majlis al-A’la Li Syu‘u>n Isla>miyah, 2008) h. 480
[11] Ibid. h. 482
[12]  Ibid. h. 483
[13]  Ibid.
[14] ‘Ajja>j Khati>b, ‘Us}u>l al-Hadis\  ‘Ulu>mihi Wa Mus}t}alah}ihi, (Cet VII: Da>r Ibn H{az\m, 1997) h. 366
[15] Jamaluddin al-Qa>simi>, Qawa>id al-Tah}dis\, Dar al-Kutub. h. 102
[16] Abu> Bakr Ahmad bin al-H{usain bin ‘Ali> al-Baihqi>, Sunan al-Kubra, (Cet. I; Jidr Aba>d: Da>r al-Ma‘a>rif, Hind, 1344) h. 239
[17] Muhammad S}a>leh al-‘Us\aimi>n, Syarh Nuz}hatu al-Naz}r, (Cet. I; Maktabah Islamyah, 2006) h. 90
[18] Muhammad S}a>leh al-‘Us\aimi>n, op, cit, h. 129
[19] Ibid.