BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kajian
hadis tidak henti-hentinya dilaksanakan sejak dari zaman dahulu sampai zaman
sekarang, karena hal ini adalah
kebutuhan bagi dua kelompok, kelompok pertama, yaitu bagi para orientalis yang
ingin mengkaji hadis untuk menambah khazanah keilmuan mereka, atau untuk
menjatuhkan hadis untuk menambah khazi>nah
mereka.
Adapun
kelompok kedua adalah kelompok muslim, yaitu kelompok yang mengkaji hadis yang
tidak hanya untuk menambah khazanah keilmuan mereka dan tapi juga untuk
menjaganya.
Fakta
bahwa para orientalis sangat gesit dan memiliki semangat yang sangat besar
dalam mengkaji hadis nabi, seharusnya membuat ummat muslim dewasa ini iri dan
menjadi lebih giat lagi dalam mengkaji dan mempertahankan hadis mereka, hadis
yang merupakan rujukan kedua setelah al-qur’an dalam berbagai masalah.
Beberapa
permasalahan yang sering disentuh oleh para orientalis adalah permasalahan
kesahihan hadis. Mereka menggunakan berbagai cara, jalan, dan penafsiran untuk
mengkaburkan atau bahkan mengkritik kaedah penetapan kesahihan hadis, karna
ketika kaedah penetapan kesahihan hadis berhasil dikaburkan, maka otomatis
hadis-hadis yang lahir dari kaidah penetapan kesahihan hadis tersebut bisa
diragukan atau bahkan tidak dianggap sahih
lagi.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasar
pada beberapa masalah yang diungkapkan di atas, maka pemateri merasa ada
beberapa masalah yang harus dibahas, pembahasan untuk menambah khazanah atau
untuk menjaga khazinah keilmuan kita. berikut ini ada beberapa rumusan masalah
yang akan dibahas, diantaranya:
1.
Apa defenisi
hadis sahih dan hadis hasan?
2.
Bagaimana pembagian hadis sahih dan hadis hasan serta sayarat-syaratnya?
3.
Apa contoh
hadis sahih dan hadis hasan serta
kehujjaannya?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Defenisi
Hadis Sahih dan Hasan
1. Defenisi
hadis sahih.
Secara bahasa, kalimat sahih adalah lawan dari kata sakim,
kata sahih yang berarti sehat adalah lawan kata dari saki>m yang berarti sakit. Adapun
secara istilah atau terminologis, maka para ulama berbeda-beda dalam mendefenisikannya, diantaranya:
a.
Imam Ibn S{ala>h
Beliau menyebutkan bahwa hadis sahih adalah Al musnadu allaz\y yattas}ilu isna>duhu binaqli adlin d}abit}i an
adli dabiti ila> muntahahu, wala> yakunu sya>z\an wala> mu‘allan1. yang artinya hadis sahih adalah hadis yang
bersambung sanadnya, dipindahkan oleh orang yang adil dan cerdas dari orang
yang sama sampai diakhirnya, tidak sya>z\
(keanehan) dan tidak ada ‘illat(cacat).[1]
b.
Imam T{a>ha
Ibn Muhammad Al-Baiqu>ny.
Beliau menyebutkan dalam manz}u>mahnya bahwa hadis sahih adalah “as}s}ah}i>h}u wahua mattas}al, isna>duhu walam yasyuz\ walam yu‘al,
yarwi>hi ‘adlun d}a>bitun ‘an mis}lihi, mu’tamadun fi d}abtihi wa
naqlihi.[2]
yang artinya adalah, hadis s}ahih adalah hadis yang bersambung
sanadnya, tidak ada sya>z\ dan
tidak ada ‘illat, diriwayatkan oleh
orang yang adil dan cerdas dari orang yang semisal dengan mereka, yang diyakini
kecerdasan dan periwayatan mereka.
c.
Imam Al- Khatta>by
Menurut beliau defenisi hadis sahih adalah “ma ittas}ala sanaduhu wa ‘uddilat naqatuhu”[3]
atau yang artinya, hadis yang bersambung sanadnya, dan dianggap adil ra>winya. Khusus pengertian yang agak
berbeda dengan dua pengertian sebelumnya ini ada komentar ulama tentang
pengertian ini, salah satunya disampaikan oleh Imam Ira>qy, beliau berkata yang
artinya “ kenapa beliau tidak mensyaratkan d}abt}
ra>wi dan selamat dari syaz\ dan ‘illat”[4].
maka Imam As- Suyuti memberikan penjelasan tentang hal ini dalam kitabnya Tadribu Ar- Rawi yang artinya bahwa “ yang nampak bagi saya
adalah bahwa hal tersebut masuk dalam pengertian, karna ada perbedaan antara
kata ‘adlun dan ‘addaluhu, karna orang yang sering
melakukan kesalahan tidak berhak dikatakan bahwa dia telah dikategorikan ‘adil oleh ulama hadis, biarpun dia
memiliki sifat ‘adil dari segi
agamanya, maka renungkanlah”[5]
Dari beberapa pengertian di atas,
mungkin tampak bahwa ketiga ulama diatas berbeda-beda dalam mendefenisikan
hadis sahih, akan tetapi bila diteliti lebih jelas, maka nampaklah bahwa
maksud dari defenisi mereka adalah sama, hanya saja cara mereka membahasakan
defenisi tersebut yang sedikit berbeda.
2. Defenisi hadis hasan.
Seperti halnya dengan hadis sahih, hadis hasan juga mempunyai pengertian baik itu
secara bahasa atau secara istilah. Adapun secara bahasa, Ibn Fa>ris
menyebutkan dalam Mu’jam Maqa>yi>s
al-Lugah, bahwa الحسن ضد القبح,[6]
artinya
kata hasan yang berarti baik
adalah lawan dari kata qabhu yang
berarti buruk.
Adapun dari segi istilah atau
terminologisnya, hadis hasan memiliki pengistilahan yang
berbeda-beda di kalangan ulama hadis. Hal tersebut karna hadis hasan berada
diantara hadis sahih dan hadis daif. Di antara para ulama hadis
yang mendefinisikan hadis hasan adalah:
a.
Imam Al- Jauziy
Beliau menefinisikan hadis hasan dengan
“Al h}adi>s\ allazi> fi>hi>
d}a’fun qari>bun muh}tamalun”.[7]
Yang artinya, hadis hasan adalah hadis yang didalamnya ada
sedikit kelemahan yang bisa diterima.
b.
Ibn Hajar Al-
Asqala>ny
Beliau mendifenisikan hadis hasan dalam kutipan pernyataannya,
yaitu “wa khabaru al-ahad binaqli ‘adlin
ta>m d}abt}i, muttas}il musnad gairu muallal wala> sya>z\ hua al-sahi>hu
liz\a>tihi, fain khaffa al-d}abt}u fahua al h}asanu liz\a>tihi”[8].
yang artinya adalah, khabar aha>d yang diriwayatkan oleh orang
yang ‘adil dan sempurna
kecerdasannya dan hafalannya, tersambung dan sampai kepada nabi dan tidak ada sya>z\ ataupun ‘illat maka hadis itu adalah s{ah{i>h{ liz\a>tihi, akan tetapi jika kecerdasan dan kekuatan
hafalannya lemah, maka hadisnya adalah hadis h}asan liza>tihi.
c.
Imam Tirmizi
Beliau mendefenisikan hadis hasan dengan “semua hadis yang
diriwayatkan yang di dalam sanadnya tidak ada perawi yang dituduh sebagai
pendusta, dan hadis tersebut tidak sya>z\,
dan diriwayatkan lebih dari satu jalur periwayatan yang sama kualitasnya, maka
bagi kami itu adalah hadis hasan.[9]
Berdasar pada pengertian yang
diungkapkan oleh Imam Al- Jauzy di atas, kita melihat bahwa beliau mendudukkan
hadis hasan berada sedikit dibawah kedudukan hadis sahih, tetapi beliau
tidak menegaskan dimana letak kekurangan hadis hasan dari hadis sahih. Sama
halnya dengan Imam Tirmizi, dalam pengertiannya tentang hadis hasan, beliau
juga tidak menyebutkan pengertian yang jelas yang membedakan antara hadis hasan
dengan hadis sahih.
Perbedaan antara hadis hasan dengan hadis sahih,
yaitu kesempurnaan kecerdasan dan hafalan pada hadis sahih, dan kurang sempurnanya kedua hal tersebut
dalam hadis hasan.
B. Pembagian
Hadis Sahih dan Hadis Hasan
Sebagaimana yang telah kita pelajari
sejak lama, bahwa para ulama hadis membagi setiap dari hadis sahih dan hadis hasan masing-masing kedalam dua
bagian, yaitu:
1. S}ah}i>h}
liz\a>tihi dan s}ah}i>h}
ligairihi.
a. S}ah}i>h}
liz\a>tihi, adalah hadis
sahih yang berdasar pada
pengertian hadis sahih di
atas, yaitu hadis yang bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah,
diriwayatkan oleh orang yang ‘adil
atau yang biasa kita artikan dengan
sifat seseorang yang selalu menjaga dirinya dari dosa kecil terlebih lagi dari
dosa besar, dan d}a>bit} atau kecerdasan dan kekuatan hafalan,
meriwayatkan dari orang yang ‘adil
dan dhabit juga, tidak sya>z\ dan tidak ada ‘illat.
Imam Az-Zahaby dalam mendefenisikan
hadis s}ah}i>h} liz\a>tihi berkata
“fain naqalahu ‘adlun bian lam yakun fa>siqan
wala> majhu>lan, tam d}abt}i bian lam yakun mugfilan au akhaf minhu,
muttas}ilu al sanadi gairu muillun wala> sya>z\un fas}ah}i>h}un liz\a>tihi”
[10],
yang artinya adalah, jika hadis tersebut diriwayatkan oleh orang yang adil,
yaitu bukan orang yang fasiq dan asing, sempurna kecerdasannya, yaitu bukan
orang sering lalai atau yang lebih dari itu, tersambung sanadnya, tidak ada
cacat, dan tidak ada keanehan, maka hadis tersebut adalah hadis s}ah}i>h} liz\a>tih}i.
Berdasar pada pengertian di atas, kita
dapat memahami bahwa hadis s}ah}i>h}
liz\a>tih}i sesuai dengan artinya, ia tidak membutuhkan bantuan dari
jalur periwatan yang lain untuk mencapai derajat sahih, kesahihan tersebut lahir dari hadis
itu sendiri.
Salah satu dari contoh hadis s{ah{i>h{ liz\a>tihi adalah hadis
rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya (dari
Abdullah Ibn Yusuf dari Malik dari Ibn Syiha>b dari Muhammad Ibn Jubair Ibn
Mut’im dari ayahnya berkata: saya mendengar Rasulullah SAW membaca surah At-
Thur dalam sholat maghrib.[11]
Hadis ini adalah contoh dari hadis s}ah}i>h} liz\a>tih}i, kita dapat
melihat bahwa semua syarat hadis sahih semuanya terpenuhi dalam hadis ini, mulai dari
ketersambungan sanad, ke’adilan
dan ked}abtan} periwayatnya, dan bebasnya hadis ini
dari sya>z\ dan juga ‘illat.
b. Adapun
hadis s}ah}i>h} ligairihi, adalah
hadis hasan yang terangkat derajatnya
menjadi sahih karna
diriwayatkan oleh banyak jalur periwayatan. Dengan kata lain, terangkatnya
sebuah hadis dari derajat hasan menjadi derajat sahih adalah karna banyaknya jalur periwayatan yang
mendukung kandungan hadis tersebut.
Ibn S}ala>h} dalam memberikan
keterangan tentang hadis s}ah}i>h
ligairihi beliau berkata, jika
perawi hadis itu tidak mencarapai derajat ahlul
hifz\i wal itqa>ni, akan tetapi dia terasuk orang-orang yang terkenal
dengan kejujurannya, dan selain itu hadisnya juga diriwayatkan dari jalur yang
lain , maka hal tersebut akan menambah kualitas kekuatan hadis tersebut dari
dua sisi, oleh karna itu hadisnya terangkat dari derajat hadis hasan menjadi hadis sahih.[12]
Dalam kitab Mausu‘ah ‘Ilmu Hadi>s\
disebutkan bahwa \Prof. Dr, Muhammad ‘Ali Ahmadin juga menambahkan dalam
bukunya yang berjudul d}au’ al-qamar, beliau
menyebutkan bahwa hadis s}ah}i>h}
ligairihi adalah hadis h}asan liz\a>tihi akan tetapi hadis
tersebut ditopang oleh hadis lain yang lebih kuat darinya atau yang sama
kuatnya, atau yang lebih lemah darinya tapi dengan banyak jalur [13].
Salah satu contoh hadis s}ahi>h ligairihi adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya, yaitu hadis Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Muhammad Ibn Amru dari Abi Salmah dari Abu Hurairah berbunyi
“ لولا أن أشق علي أمتي لأمرتهم بالسواك مع كل
صلاة”.
Hadis ini dikategorikan sebagai hadis s}ah}i>h ligairihi karna Muhammad Ibn Amru Ibn Alqa>mah adalah
salah satu orang terkenal dengan kejujurannya, akan tetapi dia bukanlah orang
yang sempurna kecerdasannya, oleh karna itu ada sebagian orang yang menilainya
lemah dari segi hafalan, tapi sebagian lagi menilainya s\iqah karna kejujurannya,
maka hadisnya adalah hadis h}asan liz\a>tihi
sekaligus s}ahi>h ligairihi karna hadis ini juga diriwayatkan dari jalur
periwayatan yang lain. [14]
Hadis ini juga terdapat di tempat lain
dalam kitab sahih Bukhari, yaitu pada urutan hadis yang ke 7240 dengan jalur
sanad yang berbeda dengan jalur sanad yang pertama, dan terdapat pula dalam
kitab Jam‘u al-Jawa>mi‘ karangan Imam al- Suyu>ti> pada jilid 7
halaman 161, dan hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu daud, Imam al-Nasa’i,
Imam Tirmiz}I dan Imam Ahmad, semua hadis ini menjadi penguat sehinggga hadis
yang tadinya hasan, terangkat derajatnya menjadi s}ah}i>h} ligairi.
2.
H{asan
liz\a>tihi dan h}asan
ligairihi
Sebagaimana hadis sahih, hadis hasan juga dibagi atas h}asan liz\a>tihi dan h}asan
ligairihi yang masing masing
pengertiannya adalah:
a)
H{asan
liz\a>tihi, adalah hadis hasan dalam pengertian yang telah dikemukakan di atas,
yaitu hadis yang didalamnya terdapat syarat-syarat hadis sahih kecuali satu, yaitu kurangnya
kekuatan hafalan seorang perawi. Atau kita juga bisa mengatakan bahwa hadis h}asan liz\a>tihi sebenarnya adalah hadis sahih yang turun derajatnya menjadi
hadis h}asan liz\a>tihi, karna
dalam jalur sanad periwayatannya ada satu atau lebih perawi yang lemah hafalannya.
Dalam mendefenisikan hadis hasan ulama
hadis klasik memiliki defenisi atau ungkapan yang berbeda beda, tetapi pada
dasarnya inti dari defenisi mereka adalah bahasan adalah hadis yang tingkat
kekuatannya lebih dari hadis daif tetapi tidak mencapai hadis sahih.
b)
H{asan
ligairihi.
Dalam kitab Qawa>id
al-Tahdi>s\, Jamaluddin al-Qa>simi> disebutkan bahwa hadis h}asan
ligairihi asalnya adalah hadis daif, akan tetapi naik kederajat hasan karna adanya pendukung dari hadis yang lain, maka hadis tersebut menjadi kuat, seandainya tidak
ada penguat dari hadis yang lain, maka hadis tersebut akan tetap pada kedaifannya[15].
Sama seperti pada hadis s}ah}i>h} ligairihi, hadis h}asan
ligairihi juga terangkat derajatnya
dari hadis daif menjadi hadis h}asan ligairihi karna adanya jalur
periwayatan lain yang mendukung hadis tersebut.
Salah satu contoh hadis h}asan
ligairihi adalah hadis yang terdapat pada kitab Sunan al-Kubra, yaitu hadis
Rasulullah " أرضيت من نفسك ومالك بنعلين قالت نعم فأجازه " salah satu periwayat hadis ini adalah ‘A<s}im bin
‘Ubaidillah para ulama menilainya sebagai seorang yang daif[16],
tetapi hadis in idiriwayatkan oleh banyak jalur, yang membuatnya terangkat dari
derajat hadis daif menjadi hadis h}asan ligairihi.
Pertimbangannya adalah, kemunginan
kebenaran suatau hadis akan berbeda ketika hadis tersebut hanya diriwayatkan
oleh satu atau dua jalur periwayatan,
dibandingkan ketika hadis tersebut diriwayatkan dari banyak jalur periwayatan,
hal tersebut akan menambah keyakinan kita untuk lebih menerima hadis tersebut.
Dan satu pertimbangan lagi, seorang
perawi yang lemah hafalannya itu tidak selamanya berada pada titik yang sama, tidak menutup kemungkinan bahwa ada beberapa
hadis yang dia hafal dengan ingatan yang sangat kuat, apalagi ketika hal
tersebut dikuatkan dengan banyaknya jalur sanad yang menguatkan hadis tersebut,
maka keyakinan kita pada kebenaran hadis tersebut akan menjadi lebih besar,
sehingga hadis yang tadinya daif
tapi dengan adanya dukungan dari jalur periwayatan yang lain bisa terangkat
derajatnya menjadi hadis h}asan
ligairihi.
2. Syarat-Syarat
Hadis Sahih dan Hadis Hasan
1.
Syarat-syarat
hadis sahih.
Berdasar pada pengertian hadis sahih yang dipilih oleh para
ulama diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi
sebuah hadis untuk bisa mencapai derajat sahih itu ada lima, yaitu:
a)
Ketersambungan
sanad
Syarat ini menjadi sayarat inti dalam
kriteria kesahihan hadis, dengan kata lain seorang perawi harus bertemu
langsung dengan orang yang ia riwayatkan hadis darinya, hal itu jika kita
menggunakan syarat Imam Bukhari, tetapi jika kita menggunakan syarat
ketersambungan sanad yang dipegang oleh Imam Muslim, maka seorang periwayat
hanya harus semasa dengan orang yang ia ambil hadis darinya.
Kenapa syarat ini amat penting,
sampai-sampai Imam Bukhari mengharuskan adanya kepastian bahwa sang perawi
pernah bertemu dengan orang yang ia
ambil hadis darinya, karna ini menyangkut perkataan Rasulullah yang
diucapkan beliau sekitar seribu lima ratus tahun yang lalu, yang kita hanya
bisa meyakini kebenarannya jika ada ketersambungan sanad dari penulis hadis
sampai kepada Rasulullah SAW.
b)
‘Ada>lah
(keadilan)
setiap periwayatnya
‘Ada>lah
atau yang biasa kita artikan sifat adil bagi
para periwayat hadis, memiliki dua syarat, yaitu perawinya selamat dari sifat
fasiq dan menjaga muru>‘ah (kehormatan atau harga diri). Selamat dari
sifat fasiq berarti memberikan kita dua pengertian, yaitu periwayat tersebut
tidak melakukan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil.
Adapun persyaratan menjaga muru>ah (kehormatan atau harga diri)
memberikan kita pemahaman bahwa seorang periwayat harus menjaga dirinya dari
hal-hal yang bisa merusak kehormatan dirinya, atau merusak harga dirinya.
Ketika periwayat memenuhi dua kriteria tadi maka dia pantas mendapatkan gelar ‘adil.
c)
D{abt}
(kecerdasan
hafalan)
Kata d}abt} dalam istilah ilmu
hadis terbagi menjadi dua, d}abt} hifz} (menjaga
hafalan) dan d}abt} kita>bah (menjaga
catatan). Menjaga hafalan artinya seorang periwayat mampu menghafal hadis
sesuai dengan yang ia dengar, dan bisa menyampaikannya seperti yang ia dengan
kapanpun dia mau. Adapun menjaga catatan berarti seorang periwayat mampu
menjaga catatannya sejak ia mencatatnya sampai ia menyampaikannya.
d) Tidak
sya>z\ (kejanggalan atau keanehan)
Kata sya>z\ menurut bahasa
berarti sendiri, adapun menurut istilah yaitu suatu hadis yang perawinya
berbeda (dalam hal penyampaian matan hadis) dengan perawi yang lebih kuat (
jumlah, sifat, keadaan)[17]
e)
Tidak illat (cacat atau aib)
Kata illat berbeda pemaknaannya
dengan kata cacat yang biasa kita fahami, kata illat menunjukkan pada
sebuah cacat atau aib yang tersembunyi, yang tidak tampak kecuali setelah
dilakukan penelitian, oleh karna itu keterputusan sanad tidaklah dinamakan illat karna setiap orang bisa melihatnya,
illat hanya digunakan untuk mensifati sebuah cacat
atau aib yang tersembunyi dalam sebuah sanad atau matan hadis.
Ini adalah lima sayarat yang harus
dipenuhi sebuah hadis untuk bisa dikategorikan sebagai hadis sahih lizatihi, adapun jika syarat
ketiga (dhabt) tidak semputna, maka
hadisnya hanya mencapai derajat hasan.
2.
Syarat-syarat
hadis hasan.
Ketika kita memperpegangi pendapat Imam
Ibn Hajar Al- Asqala>ny maka perbedaan antara syarat-syarat hadis sahih dengan hadis hasan hanya terletak pada kecerdasar atau hafalan
perawinya. Ketika para periwayat suatu hadis memiliki kesempurnaan kecerdasan
dan hafalan maka hadis yang ia riwayatkan adalah hadis sahih, akan tetapi
bila semua perawi atau salah satu dari perawinya ada yang lemah hafalannya maka
hadis yang ia riwayatkan hanya terhenti pada derajat hasan, kecuali jika
hadis tersebut diriwayatkan dengan banyak jalur maka hadis itu terangkat dari
derajat hasan menjadi s}ah}i>h}
ligairihi.
3. Kehujjahan
Hadis Sahih dan Hadis Hasan
Kehujjaan
hadis sahih merupakan hal yang sudah
disepakati oleh ulama, baik itu ulama hadis, ulama fikhi ataupun ulama ushul,
baik itu dalah permasalahan aqidah atau dalam masalah fikhi. Adapun kehujjahan hadis hasan, ada sebagian ulama yang tidak menerimanya untuk dijadikan
dasar hukum kecuali jika ada hadis lain yang menguatkan, karna mereka
berpenapat ketika seorang rawi tidak kuat hafalannya, maka bagaimana kita bisa
menjamin bahwa yang disampaikannya adalah betul-betul2 hadis dari Rasulullah
SAW.[18]
Tetapi Imam Muhammad Ibn Shaleh Al-
Usaimin berkata dalam Nuzhatun Nazr yang merupakan penjelasannya atas kitab
Nukhbatu Al- Fikr bahwa kami tetap mengamalkan hadis hasan tersebut atas dasar
perasangka baik kepada perawi tersebut. [19]
Sehingga dapat dikatakan bahwa hadis sahih dan hasan berikut pembagiannya adalah sumber hukum, dan
dapat dijadikan hujjah , biarpun
derajat hadis hasan sedikit
lebih rendah dibandingkan derajat hadis sahih
tapi hal tersebut tidak menjadikan hadis hasan keluar dari kehujjahannya sebagai sumber hukum.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan
beberapa kesimpulan sebagai beriku :
1)
Hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil, d}abt},
tidak sya>z\ dan tidak ‘illat.
2)
Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil
tetapi kurang ked}abit}annya,
tidak sya>z\ dan tidak ada ‘illat, dan jika hadis hasan
diriwayatkan lebih dari satu jalur maka hadis tersebut berubah derajatnya dari hasan menjadi s}ah}i>h} ligairihi.
3)
Hadis h}asan ligairihi adalah hadis d}ai>f dengan kedhaifan
yang ringan, dan diriwayatkan oleh beberapa jalur periwayatan, maka hadis
tersebut berubah dari derajat dhaif menjadi h}asan
ligairihi.
4)
Semua pembagian hadis diatas adalah hujjah
yang bisa diamalkan dan diperpegangi
oleh kebanyakan ulama.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Asqala>ni>>,
Ibn Hajar, Syarh Nuz\hatu al- Nazr Fi> Taud}i>h Nukhbatu al Fikr
Fi> Mus}t}alah Ahli al- As\r, Damaskus: Maktabah al-Dabba>h, 2000.
Al-
Baiqu>ni>, T{a>ha H{usein Muhammad , Al-Manz}u>mah
al-Baiquniyah, Cet. I; Kairo: Da>r al-Sala>m, 2002.
Al-Jauzi>,
Ibn, Al-Maud}u>‘a>t Min
al-Aha>di>s\ al-Marfu‘a>t, (Juz I; Riya>d}: Adawa>’u al-
Salaf, 1997.
Al-Khati>b,
Ajja>j , ‘Us}u>l al-Hadis\ ‘Ulu>mihi Wa Mus}t}alah}ihi, Cet VII: Da>r Ibn
H{az\m, 1997.
Al-Suyu>ti>,
Jala>l al- Di>n , Tadri>b al Ra>wi>, Kairo: Da>r al-
H{adis\, 2004.
Al-Tirmiz\i>,
Abu ‘ii>sa Muhammad bin ‘I<sa bin Surah , ‘Ilal al_s}agi>r , Riya<d}:
Da>r Ma‘a>rif.
Al-Qa>simi>,
Jamaluddin , Qawa>id al-Tah}dis\, Da>r al-Kutub.
Al-‘Us\aimi>n,
Muhammad S}a>leh Syarh Nuz}hatu
al-Naz}r, Cet. I; Maktabah Islamyah, 2006.
Ibn
Fa>ris, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz II; Suriyah: Da>r
al-Fikr, 1979.
Majlis al-A‘la Li
Syu‘u>n Isla>miyah, Mausu‘ah ‘Ilmu al-H{adi>s\, Kairo: Majlis
al-A’la Li Syu‘u>n Isla>miyah, 2008.
[1] ‘Us}ma>n bin ‘Abdu al-
Rahma>n al Syahraz}wari>, Muqaddimah ibn S|ala>h} fi> ‘Ulu>m
al H{adis}\ (Cet. I; Beirut: Da>r al- Kutub ‘Ilmyah, 2003) h. 19
[2]
T{a>ha H{usein Muhammad al- Baiqu>ni>, Al-Manz}u>mah
al-Baiquniyah, (Cet. I; Kairo: Da>r al-Sala>m, 2002) h. 3
[3]
Jala>l al- Di>n al Suyu>ti>, Tadri>b al Ra>wi>, (Kairo:
Da>r al- H{adis\, 2004) h. 46
[4]
Ibid.
[5] Ibid.
[7] Ibn al-Jauzi>, Al-Maud}u>‘a>t
Min al-Aha>di>s\ al-Marfu‘a>t, (Juz I; Riya>d}: Adawa>’u al-
Salaf, 1997) h. 35
[8] Ibn Hajar, Syarh Nuz\hatu
al- Nazr Fi> Taud}i>h Nukhbatu al Fikr Fi> Mus}t}alah Ahli al- As\r, (Damaskus:
Maktabah al-Dabba>h, 2000) h. 33
[9] Abu ‘ii>sa Muhammad bin
‘I<sa bin Surah al-Tirmiz\i>, ‘Ilal al_s}agi>r ,(Riya<d}:
Da>r Ma‘a>rif) h. 887
[10] Majlis al-A‘la Li Syu‘u>n
Isla>miyah, Mausu‘ah ‘Ilmu al-H{adi>s\, (Kairo: Majlis al-A’la Li
Syu‘u>n Isla>miyah, 2008) h. 480
[11] Ibid. h. 482
[12]
Ibid. h. 483
[13]
Ibid.
[14] ‘Ajja>j Khati>b, ‘Us}u>l
al-Hadis\ ‘Ulu>mihi Wa
Mus}t}alah}ihi, (Cet VII: Da>r Ibn H{az\m, 1997) h. 366
[15] Jamaluddin al-Qa>simi>, Qawa>id
al-Tah}dis\, Dar al-Kutub. h. 102
[16] Abu> Bakr Ahmad bin
al-H{usain bin ‘Ali> al-Baihqi>, Sunan al-Kubra, (Cet. I; Jidr
Aba>d: Da>r al-Ma‘a>rif, Hind, 1344) h. 239
[17] Muhammad S}a>leh
al-‘Us\aimi>n, Syarh Nuz}hatu al-Naz}r, (Cet. I; Maktabah Islamyah,
2006) h. 90
[18] Muhammad S}a>leh
al-‘Us\aimi>n, op, cit, h. 129
[19] Ibid.