Senin, 05 Maret 2012

nuzuul qur'an


BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Tidaklah tersembunyi bagi siapapun juga bahwa tiap-tiap sesuatu dan ada kadarnya. Demikianlah sunnatullah didalam alam ini. Sejarah adalah saksi yang benar menetapkan kebenaran ini. Allah swt. menurunkan al-Qur’an kepada Rasul kita Muhammad saw. untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan penghuni bumi. Turunnya al-Qur’an pada malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari Malaikat-Malaikat akan kemuliaan umat Muhammad saw. Turunnya al-Qur’an yang kedua kalinya secara bertahap, berbeda dengan kitab yang sebelumnya, sangat mengagetkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya, sebelum jelas bagi mereka rahasia hikmah ilahi yang ada dibalik itu. Rasulullah tidak menerima risalah agung ini sekaligus dan kaumnya pun tidak puas dengan risalah tersebut karena kesombongan dan permusuhan mereka. Olehnya itu wahyupun turun berangsur-angsur untuk menguatkan hati rasul dan menghiburnya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmat-Nya.[1]
1
 
Berbicara tentang Nuzu>l al-Qur’an (turunnya al-Qur’an) seakan kita membicarakan suatu peristiwa yang sakral yang terjadi ratusan tahun yang lampau. Olehnya itu pantas seorang Nasr Hamid Abu Zaid, mempertanyakan eksistensi peristiwa tersebut, sebagaimana ia katakana bahwa konsep tentang Nuzu>l al-Qur’an masih menyisakan pertanyaan mengenai bagaimana komunikasi antara Allah dan Malaikat-Nya:  pertama, berkaitan dengan kode yang digunakan dalam komunikasi tersebut, dan kedua, komunikasi antara Malaikat dengan Rasul mengenai proses penerimaan wahyu selama kode yang dipergunakan oleh keduanya adalah bahasa Arab. Pertanyaan-pertanyaan sulit ini merupakan masalah sentral dari salah satu ‘Ulum al-Qur’an, yaitu “bagaimana proses inzal dan maknanya”.[2] Istilah turun, bisa menghasilkan beberapa interpretasi dalam benak kita yang membacanya. Bisa jadi kata turun di sini berarti turun berupa proses perpindahan dari sesuatu yang tinggi kepada tempat yang lebih rendah. Bisa juga diartikan turun secara kiasan, dan tidak mesti mengarah kepada proses sebagaimana yang berlaku pada turunnya sesuatu yang dipahami biasanya.
B.    RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang tersebut di atas, penulis mengemukakan beberapa pokok pembahasan sebagai berikut:
1.         Apa pengertian Nuzulul Qur’an ?
2.         Waktu diturunkannya al-Qur’an  ?  
3.         Bagaimana proses turunnya al-Qur’an  ?
4.         Apa hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur ?


             
           


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Nuzulul Al Qur’an
Sebuah kelumrahan dalam mengkaji sebuah cabang ilmu pengetahuan, untuk selalu kembali kepada makna ungkapan atau akar kata dari sebuah istilah yang menjadi objek kajian. Berdasar akan niat untuk mendapatkan pemahaman yang betul-betul tepat dan benar, maka istilah yang berasal dari bahasa asing. Sebisa mungkin, kita kaji dari bahasa asalnya.
Dalam kaitan turunnya Al Qur’an sering disebutkan dengan kata-kata seperti nuzul (نزول), inza>l (إنزال), tanazzul (تنزّل), tanzi>l (تنزيل), dan munazzal (منزّل) yang masing-masing berati turun, menurunkan, hal turun, proses penurunan, dan yang diturunkan.  
             Kata Nuzu>l al-Qur’an, berasal dari uraian kalimat bahasa arab. Sebuah kalimat yang terdiri dari susunan dua kata, Nuzu>l dan al-Qur’an. Memahami ungkapan ini, sebaiknya kita urai terlebih dahulu kepada pencarian makna kata perkata.
Sebagai awal, kita menjelaskan makna nuzu>l secara tersendiri. Barulah kemudian menggandengkannya dengan kata al-Qur’an  .
Kata Nuzu>l, secara bahasa memiliki beberapa arti. Para Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Ragam pendapat itu adalah sebagai berikut[3]:
a.      
3
 
Imam Al-Ragib Al-As}faha>ni dalam kitabnya Al-Mufrada>t, kata nuzu>l berarti Al-inhida>r min ‘uluwwin ila> suflin (meluncur dari atas ke bawah, atau berarti turun).
b.      Al-Zarqani menjelaskan bahwa kata nuzul mempunyai makna dasar (perpindahan sesuatu dari atas ke bawah) atau (suatu gerak dari atas kebawah). Menurutnya, dua batasan tersebut memang tidak layak diberikan untuk maksud diturun-kannya al-Qur’an oleh Allah, karena keduanya hanya lebih tepat dan lazim dipergunakan dalam hal yang berkenaan dengan tempat dan benda atau materi yang mempunyai berat jenis (BJ) tertentu. Sedangkan Al Qur’an bukan semacam benda yang memerlukan tempat perpindahan dari atas ke bawah. Tapi yang benar adalah memahami bahwa kata nuzul itu bersifat majazi, yakni pengertian nuzul Al Qur’an bukan tergambar dalam wujud perpindahannya al-Qur’an, atau al-Qur’an itu turun dari atas ke bawah, tetapi harus di pahami sebagai pengetahuan bahwa al-Qur’an telah diberitakan oleh Allah swt. kepada penghuni langit dan bumi. Di sini terkandung maksud bahwa nuzul harus di ta’wilkan dengan kata ilam yang berarti pemberitahuan atau pengajaran. Maka nuzu>l al-Qur’an berarti proses pemberitaan atau penyampaian ajaran al-Qur’an yang terkandung di dalamnya[4].
c.       Imam Al-Fairu>z Aba>di dalam kamusnya Al-Muhi>th kata itu berarti Al-hulu>l fī al-maka>n (bertempat di suatu tempat)[5].
d.      Imam Al-Z}amakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysya>f, mengartikannya dengan Al-Ijtima>’ (kumpul).
e.       Sebagian Ulama mengartikannya dengan arti turun secara berangsur-angsur atau sedikit demi sedikit.
Secara Terminologi makna Nuzul al-Qur’an ini para ulama tidak seragam dalam menjelaskannya. Sebagaimana mereka berbeda dalam melihat maknanya secara bahasa, dalam hal ini pun terdiri dari beberapa interpretasi masing-masing sebagaimana berikut.
a.       Mayoritas Ulama berpendapat, arti kata nuzu>l dalam konteksnya dengan al-Qur’an   tidak perlu kita pahami sebagaimana arti turun secara hakiki. Yaitu berarti turun atau bertempat maupun berkumpul, melainkan dibawa kepada pemahaman secara majazi[6]. Sebab, lafadzh Al-Qur’an adalah kala>m Allah swt. yang tidak relevan dengan pemaknaan turun dengan meluncur dari atas ke bawah. Apalagi, secara jelas Allah menegaskan bahwa tidak ada yang melebihi kedekatan Allah kepada manusia sebagai hamba-Nya[7].
b.      Beberapa Ulama lain berpendapat, yakni tokoh golongan Jahmiyah dan Ibnu Taimiyah. Bahwa dalam hal ini, mengartikan kata nuzu>l tidak perlu dialihkan dari makna hakiki kepada arti majazi. Karena penggunaan kata tersebut dengan turun dari tempat yang tinggi telah menjadi ungkapan lumrah dan kebiasaan bagi orang Arab.[8]




B. Waktu dan Periodesasi Turunnya Al-Qur’an  
1. Waktu Turunnya Al-Qur’an  
            Permulaan turunnya Al-Qur’an adalah pada malam Lailatul Qadri, tanggal 17 Ramadan tahun ke empat puluh dari kelahiran Nabi Muhammad saw.. Bertepatan dengan 6 Agustus 610 M. Sewaktu beliau sedang berkhalwat (meditasi) di dalam Gua Hira di atas Jabal Nur, sebelah utara kota Mekah.
            Ayat yang pertama kali turun adalah Q.S. Al-’Alaq/ 96 : 1-5.
إِقْرَ أْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِىْ خَلَقَ . خَلَقَ اْلإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ . إِقْرَ أْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ . الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ اْلِإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ .
            Kemudian akhir diturunkannya Al-Qur’an   adalah pada masa menjelang wafatnya Rasulullah saw.. Tepatnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 63 kelahiran Nabi Muhammad saw. tepatnya tahun 10 H. bertepatan dengan 27 Oktober 632 M. Ayat yang terakhir kali turun adalah Q.S. Al-Maidah/ 5: 3.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِىْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
            Sementara pendapat lain adalah dari Imam Al-Suyuthi yang mengikuti pendapat Abdullah ibnu Abbas, bahwa ayat yang terakhir kali turun adalah Q.S. Al-Baqarah/ 2 : 281.
وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ إِلَى اللهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُوْنَ
            Berdasar dari sinilah kemudian para ulama menetapkan masa yang telah menjadi waktu penurunan Al-Qur’an   adalah selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, dan inilah yang menjadi kesepakatan Jumhur Ulama. Inti perbedaan dalam penetapan ini, berkisar pada perbedaan pendapat mengenai berapa lama Nabi saw. tinggal di Mekah setelah di angkat menjadi Rasul.
            Menanggapi perbedaan ini, ahli sejarah syariat Islam melakukan penelitian akan hal tersebut. Kemudian disimpulkan bahwa lama Rasulullah saw. menetap di kota Mekah setelah masa kenabian adalah dua belas tahun, lima bulan, dan tiga belas hari. Mulai terhitung dari tanggal 17 Ramadhan tahun ke 14 dari kelahiran beliau hingga bulan Rabiul Awal tahun ke 54 dari kelahiran beliau.
Sedangkan masa menetapnya beliau di kota Madinah adalah sembilan tahun, sembilan bulan dan sembilan hari. Terhitung dari awal bulan Rabiul Awal tahun ke 54 sejak kelahiran beliau sampai pada bulan Zulhijjah tahun ke 63 dari kelahiran beliau. Itu tepat pada tahun ke sepuluh hijriah. Maka hasil penelitian ini pun dihubungkan kepada pendapat yang paling mendekati dan itu adalah pendapat bahwa masa penurunan Al-Qur’an   selama dua puluh tiga tahun[9].  
2 . Periodisasi Turunnya Al-Qur’an  
            Masa turunnya Al-Qur’an   selama 22 tahun lebih tersebut terbagi dalam dua periode, yaitu.
a.       Periode pertama adalah periode Mekah. Yaitu, periode dimana Nabi saw. masih tinggal di Mekah. Menurut ahli peneliti, masa Nabi tinggal di Mekah adalah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari. Terhitung mulai turun pertama pada tanggal 17 Ramadan tahun ke 41 dari kelahiran Nabi Muhammad saw., bertepatan dengan 6 Agustus 610 M. sampai dengan Rabi’ul Awal tahun ke 54 kelahiran Nabi saw.
b.     Periode kedua adalah periode Madinah, yaitu, periode dimana Nabi Muhammad saw. telah berhijrah ke Yatsrib kota Madinah sekarang. Rasul hidup di Madinah selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, terhitung sejak awal Rabi’ul Awal tahun 54 kelahiran Nabi saw. yang bertepatan dengan 27 Oktober 632 M.[10]
Dua periodisasi inilah, kemudian yang menjadi dasar pengklasifikasian ayat-ayat al-Qur’an menjadi dua. Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, sebagaimana dalam sebuah pokok bahasan yang akan di bahas oleh pemakalah berikutnya yang termasuk dalam kajian Ulumul Qur’a>n .
C. Proses Turunnya al-Qur’an  
            Proses (tahap-tahap) turunnya al-Qur’an adalah fase-fase penurunan al-Qur’an yang bermula dari proses penyaluran al-Qur’an itu dari sumbernya (Allah swt.) kemudian prosesnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad saw.
            Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang pada beberapa aspeknya, memiliki perbedaan dengan kitab-kitab suci sebelumnya. Khususnya pada cara penurunannya, al-Qur’an   sangatlah berbeda dengan kitab lain[11]. Beberapa kitab suci sebelumnya turun secara sekaligus kepada Rasul yang telah ditentukan oleh Allah swt. sebagai penerimanya. Sedangkan al-Qur’an, memang juga ditujukan kepada Rasul Allah swt. yang telah dipilih oleh-Nya melainkan menggunakan dua sistem penurunan. Diturunkan secara sekaligus dan secara berangsur-angsur.
            Tahap-tahap diturunkannya al-Qur’an ada tiga fase, sebagaimana yang akan dijelaskan berikut.
a.         Fase Pertama (At-Tana>zul al-awwal)
Tahapan pertama, al-Qur’an diturunkan/ ditempatkan di lau>h Mahfudzh. Yakni, suatu tempat yang telah ditentukan oleh Allah swt. sebagai tempat tercatatnya segala sesuatu yang terjadi baik yang telah lalu maupun akan datang. Tempat yang tidak dapat diketahui oleh manusia secara pasti.
Dalil yang mengisyaratkan bahwa al-Qur’an ditempatkan di Lau>h Mahfu>dzh adalah firman Allah swt. Q.S. Al-Buruj/85 : 21-22.
ö@t/ uqèd ×b#uäöè% ÓÅg¤C ÇËÊÈ Îû 8yöqs9 ¤âqàÿøt¤C ÇËËÈ
Terjemahannya:
Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Quran yang mulia, Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.[12]
Namun, mengenai waktu atau sejak kapan al-Qur’an   itu ditempatkan di Lau>h Mahfu>dzh hanya Allah swt. yang mengetahuinya. Dzat yang Maha mengetahui segala hal yang tersembunyi, hal-hal yang kadang dianggap ghaib oleh makhluk adalah perihal mudah bagi sang Pencipta.
Hikmah dari fase pertama penurunan ini adalah menegaskan eksistensi Lau>h Mahfu>dzh dan fungsinya sebagai tempat catatan umum (arsip) dari segala mahluk, alam dan semua kejadian. Sekaligus sebagai bukti akan keluasan ilmu Allah swt. dan kekuasaan-Nya serta kekuatan kehendak dan kebijaksanaan-Nya[13].
b.        Fase Kedua ( At-Tana>zulu al-Tsa>ni )
Tahapan kedua, al-Qur’an   turun dari Lau>h Mahfu>dzh ke bait al-‘Izzah di langit dunia. Bait al-‘Izzah adalah tempat khusus di langit dunia atau pada langit yang terdekat dengan bumi ini.
Ada beberapa dalil yang diasumsikan oleh Ulama, yang menyatakan fase kedua ini. Baik dari al-Qur’an maupun dari hadis Nabi saw., diantaranya sebagai berikut.
Q.S. Al-Dukhan/44 : 3.
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû 7's#øs9 >px.t»t6B 4 $¯RÎ) $¨Zä. z`ƒÍÉZãB ÇÌÈ
Terjemahannya:
Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[14] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.[15]
Q.S. Al-Qadr/97 : 1
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ
Terjemahannya:
Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan[16].
Q.S. Al-Baqarah/2 : 185.
ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$#
Terjemahannya:
 (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran[17]
Hadis riwayat Al-Nasai, Hakim dan Baihaqi dari Ibnu Abbas ra., beliau berkata :
أُنْزِلَ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فِىْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ , ثُمَّ أُ نْزِلَ بَعْدَ ذَلِكَ فِىْ عِشْرِيْنَ سَنَةً
Dalil-dalil yang di atas sangat jelas menunjukkan turunnya al-Qur’an   pada fase kedua ini, begitupula cara turunnya yang sekaligus turun seluruhnya dari Lau>h Mahfu>dzh ke Bait al-‘Izzah di langit dunia.
Para ulama pun telah mengeluarkan sebuah Ijma‘ tentang adanya al-Qur’an   diturunkan secara sekaligus sebagaimana penjelasan sebelumnya. Hanya saja terdapat tiga pendapat tentang cara turun fase kedua ini[18], ketiga pendapat itu adalah sebagai berikut :
a.       Imam Al-Suyuthi, Al-Zarkasyi, dan lain-lain mengatakan bahwa turunnya Al-Qur’an dari Lau>h Mahfu>dzh ke Bait al-‘Izzah adalah secara sekaligus turun dengan seluruh isi al-Qur’an. Pendapat ini, bersandar kepada dalil-dalil yang telah tersebut di atas. Secara jelas menerangkan turunnya Al-Qur’an   tahap kedua ini dengan sekaligus[19].
c.      Mayoritas ulama, seperti Muqatil, Abu Abdillah Al-Halimi, Al-Mawardi, Al-Qurthubi dan lain-lain mengatakan. Turunnya al-Qur’an ke Bait al-‘Izzah itu adalah secara bertahap sampai dua puluh kali dalam dua puluh malam Lailatul Qadri dari dua puluh tahun. Tiap tahun diturunkan sejumlah ayat yang dilanjutkan akan disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad saw. di bumi[20].
d.      Sebagian ulama lain, seperti Imama Al-Sya’bi dan lain-lain mengatakan turunnya Al-Qur’an   ke Bait al-’Izzah itu pertama-tama dimulai pada malam Lailatul Qadri. Setelah itu, diturunkan secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit dalam berbagai kesempatan dari beberapa waktu yang berlainan.[21]
Dari uraian pendapat yang ada, penulis lebih cenderung memilih pendapat pertama yang lebih berdasar kepada dalil-dalil naqli sebagai landasan pendapatnya. Dimana permasalahan ini, adalah merupakan hal gaib yang hanya diketahui dengan dalil yang berasal dari Yang Maha tahu akan segala sesuatu yang lahiriah maupun gaib.
Penurunan fase kedua ini, adalah suatu proses yang telah diatur sedemikian rupa oleh Sang Pencipta Alam semesta. Apapun yang diatur atau ditetapkan oleh Allah pastilah memiliki banyak hal yang bisa kita dapatkan darinya. Baik itu berupa pelajaran atau hikmah yang bisa kita petik.

Adapun hikmah yang bisa kita ambil dari fase kedua ini, antara lain:
a.    Menunjukkan kehebatan dan kemukjizatan Al-Qur’an, yang memiliki proses penurunan yang berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya. Yaitu adanya Al-Qur’an   diturunkan secara bertahap-tahap.
b.      Menjelaskan kebesaran Nabi Muhammad saw. yang menerima kitab suci Al-Qur’an   ini, yang tidak diterimanya langsung secara sekali diterima, melainkan diatur secara bertahap. Mula-mula ditempatkan di Lau>h Mahfu>dzh, lalu ke Bait al-‘Izzah secara sekaligus, baru kemudian disampaikan secara berangsur-angsur langsung kepada Nabi Muhammad saw.
c.       Memberitahukan kepada para Malaikat dan para Nabi serta para Rasul terdahulu, mengenai kemuliaan dan ketinggian Nabi Muhammad saw. sebagai rasul penghabisan, dan juga sebagai penerima kitab suci terakhir.[22]
c.         Fase ketiga ( Al-Tana>zul al-Tsa>lits )
Tahapan ketiga, al-Qur’an turun dari Bait al-‘Izzah di langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad saw.. Artinya, setelah wahyu kitab al-Qur’an   itu pertama kalinya ditempatkan di Lau>h Mahfu>dzh, lalu keduanya diturunkannya ke Bait al-’Izzah di langit dunia, kemudian ketiganya disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad saw. baik melalui perantaraan Malaikat Jibril as., atau pu secara langsung ke dalam hati sanubari Nabi saw., maupun dari balik tabir.
Tahap ketiga ini, bersandar kepada beberapa dalil antara lain sebagai berikut. Q.S. Al-Baqarah/2 : 99.
 ôs)s9ur !$uZø9tRr& y7øs9Î) ¤M»tƒ#uä ;M»oYÉit/ ( $tBur ãàÿõ3tƒ !$ygÎ/ žwÎ) tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÒÒÈ  
Q.S. Ali Imran/3 : 7.
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB (
Q.S. Al-Syu’ara/26 : 193-194.
نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ اْلأَمِيْنُ  عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ الْمُنْذَرِيْنَ
Q.S. Al-Isra’/17: 106.
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً
Q.S. Al-Furqan/25: 32.
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَالِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَهُ تَرْتِيْلاً
HR. Thabrani.
إذا تكلم الله بالوحي أخذت السماء رجفة شديدة من خوف الله فأذا سمع بذلك أهل السماء صعقوا وخروا سجدا فيكون أولهم يرفع رأسه جبريل, فيكلمه الله بو حيه بما أراد  فينتهى به على الملائكة فكلما مر بسماء الدنيا سأله أهلها : ماذا قال ربنا ؟ قال الحق فينتهى به حيث أمر
HR. Bukhari.
أن الحارث بن هشام سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله, كيف يأتيك الوحي ؟ فقال  : أحيانا يأتينى مثل صلصلة الجرس وهو أشده علي, فيفصم عنى وقد وعيت عنه ما قال : و أحيانا يتمثل لى الملك رجلا فيكلمنى فأعى ما يقول قالت عا ئشة : ولقد رأيته ينزل عليه الوحي فى اليوم الشديد البرد. فيفصم عنه وإن جبينه يتصفد عرقا
Melihat dalil-dalil dan hadis-hadis tersebut di atas, dapatlah diketahui bahwa cara turunnya al-Qur’an pada fase ketiga ini adalah secara langsung kepada Nabi Muhammad saw. dengan cara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit dan kadang-kadang lewat perantaraan malaikat Jibril as.
Mengenai cara malaikat Jibril as. menerima wahyu Al-Qur’an adalah sesuai dengan hadis riwayat Thabrani di atas. Yaitu Jibril mendapatkan firman Allah swt. langsung dari sisi-Nya. Kemudian cara Rasulullah saw. menerima wahyu al-Qur’an   dari Jibril as. adalah dengan salah satu dari dua cara berikut.
a.        Kadang-kadang Rasulullah saw. melepaskan diri dari dunia manusia masuk ke alam malaikat, lalu menerima wahyu dari Jibril as.. Cara ini adalah lebih berat bagi beliau, sehingga tidak jarang beliau tiba-tiba pingsan karena hal ini.
b.        Kadang juga Malaikat Jibril yang datang kepada Rasulullah saw., tentunya dengan beralih kealam manusia. Bahkan menyamar menyerupai manusia. Kemudian Rasul menerima wahyu al-Qur’an   darinya.
Sedangkan hikmah penurunan al-Qur’an   fase ketiga ini, yang secara langsung kepada Nabi Muhammad saw. dan dengan berangsur-angsur, meliputi beberapa poin berikut.
a.         Mempermudah pembacaan dan penyampaiannya kepada umat manusia sebagaimana keterangan dari ayat Q.S. Al-Isra’/17 : 106 di atas. Sebab, jika sekiranya al-Qur’an itu diturunkan secara sekaligus, tentu akan sukar untuk mempelajari pembacaannya, apalagi penyampaiannya kepada masyarakat.
b.        Mempermudah untuk menghafalkannya, berdasarkan ayat 32 dari surah Al-Furqan di atas. Sebab, seandainya semua ayat al-Qur’an disampaikan sekaligus, tentu akan sukar untuk menghafalkannya langsung secara keseluruhan.
c.         Mempermudah pemahaman seluruh ajaran al-Qur’an, sesuai pula dengan penjelasan ayat 32 dari surah Al-Furqan di atas. Karena, seandainya ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. secara sekaligus, maka akan sulit untuk mengurai setiap ajaran di dalamnya.
d.        Lebih meresapkan inti ajaran al-Qur’an ke dalam hati Nabi saw. dan umatnya. Berdasar pula dari ayat 32 surah Al-Furqan di atas. Karena apabila Al-Qur’an   diterima secara sekaligus, Nabi saw. beserta umatnya akan sulit meresapi ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur’an  .
e.         Mempermudah praktik pelaksanaan hukum yang di atur dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat-pun ketika mempelajari al-Qur’an kepada Rasulullah saw. juga dengan sedikit demi sedikit, semisal sepuluh-sepuluh ayat. Mereka tidak beralih kepada ayat berikut sebelum betul-betul mantap terhadap ayat-ayat yang dipelajari itu terlebih dahulu.
f.          Memberi kesempatan kepada umat Islam guna menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan ajaran al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur. Dengan demikian, mereka mempunyai rentan waktu sebagai proses adaptasi meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi larangan dan perlahan-lahan melaksanakan hal-hal yang di perintahkan.
D. Hikmah Turunnya Secara Berangsur-Angsur
Al-Qattan[23] menyebutkan bahwa hikmah diturunkannya al-Qur’an   secara bertahap adalah sebagai berikut:
1.         Memantapkan hati Rasulullah saw.
Firman Allah swt Q.S. al-Furqan/25: 32:
tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. Ÿwöqs9 tAÌhçR Ïmøn=tã ãb#uäöà)ø9$# \'s#÷Häd ZoyÏnºur 4 y7Ï9ºxŸ2 |MÎm7s[ãZÏ9 ¾ÏmÎ/ x8yŠ#xsèù ( çm»oYù=¨?uur WxÏ?ös?
Terjemahnya:
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?" demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).
Dengan turunnya wahyu secara bertahap menurut peristiwa, kondisi, dan situasi yang mengiringinya, tentu hal itu lebih sangat kuat menancap dan sangat terkesan di hati sang penerima wahyu, yakni Rasulullah saw. Dengan begitu turunnya melaikat kepada beliau juga lebih intens (sering), yang tentunya akan membawa dampak psikologis kepada beliau; terbaharui semangatnya dalam mengemban risalah dari sisi Allah swt.
2.      Untuk memudahkan menghafal al-Qur’an  .
Dengan turunnya al-Qur’an   secara berangsur-angsur, memudahkan sahabat dalam menghafalnya, memahami maknanya,dan dipraktekkan langsung dalam kehidupan sehari-hari
3.        Untuk menyesuaikannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan menciptakan kebertahapan dalam pemberlakuan hukum.
4.        Sebagai Mukjizat
Setiap kali Rasulullah saw, dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang maksudnya melemahkan, maka Allah memberikan jawaban melalui wahyu al-Qur’an   yang sekaligus melemahkan mereka.
5.        Juga di antara hikmahnya, adalah untuk menjawab segala pertanyaan dan problem yang muncul di kalangan kaum mu’minin[24].
E.   Polimik Sekitar Turunya al-Qur’an
Nuzul al-Qur’an, nuzul dalam kamus lisan al-Arab berarti (al-hulul) berdiam atau tinggal. Sedangkan menurut Az-Zarqani, penggunaan Nuzul itu sendiri mengandung dua pengertian. Pertama berarti: tinggal disuatu tempat dan berdiam atau beristirahat ditempat itu. Kedua berarti: turunnya sesuatu dari tempat yang tinggi menuju ke tempat yang rendah. Sedangkan makna al-Qur’an secara bahasa banyak diperselisihkan oleh para ulama, ada yang mengatakan Musytaq dan ada yang mengatakan Jamid[25].
Akan tetapi, secara sederhana apabila kita buka dalam kamus Arab al-Munawwir misalnya, kata  tersebut berarti bacaan karena makna tersebut diambil dari makna Qiraatun atau Qur’an, yaitu bentuk masdar dari Qara’a.[26]
Penulis menganggap rangkaian dua kata tersebut yang terdiri dari susunan idhofah memberikan pemahaman bahwa yang dimaksudkannya adalah turunnya al-Qur’an sendiri. Akan tetapi kata sebahagian ulama khalaf: kebanyakan orang telah menafsirkan Nuzul pada beberapa tempat dalam al-Qur’an bukan dengan maknanya yang terkenal, lantaran kesamaran yang terjadi bagi mereka ditempat-tempat itu, lalu menjadilah tafsiran mereka hujjah bagi orang yang menafsirkan Nuzul al-Qur’an itu dengan tafsir mutakallimin. Diantara mereka ada yang mengatakan, bahwa yang dikehendaki dengan menurunkan al-Qur’an ialah melahirkan dari tempat yang tertinggi, kemudian malaikat Jibril menurunkannya dari tempat tersebut, dan diantara mereka ada yang berkata, yang dikehendaki dengan menurunkan al-Qur’an ialah memberitahu kepada malaikat, sehingga mereka paham, kemudian mereka membawa turun apa yang telah mereka pahamkan itu.
Untuk menolak keraguan, Hasbi Ash Shiddiqy memberikan pernyataan bahwa hakikat keadaan turun yang terdapat dalam kitab Allah ada tiga macam: Pertama: Turun yang ditegaskan bahwa dia itu diturunkan dari Allah. Kedua: Turun yang ditegaskan bahwa dia itu diturunkan dari langit. Ketiga: Turun yang tidak dikaitkan dengan turunnya dari Allah dan tidak pula dikaitkan dengan turunnya dari langit. Ketiga pernyataan tersebut semuanya bisa kita temui dalam al-Qur’an[27].
Pertama, firman Allah dalam surah Al-An’am/6: 114. yang berbunyi:
أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ
Terjemahannya:
“Bahwa al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenar-benarnya,  maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu”.
Kedua, firman Allah dalam surah Al-Hijr/, ayat 22 yang berbunyi :

فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَأَسْقَيْنَا كُمُوْهُ وَمَآ اَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِيْنَ
Terjemahannya:
“Dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya”.
Ketiga, firman Allah dalam surah Al-Fath/48: 4. yang berbunyi:

هُوَالَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ  فِيْ قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ لِيَزْدَادُوْا إِيْمَا نًامَّعَ إِيْمَا نِهِمْ

Terjemahannya:
 “Dialah (Allah) yang telah menurunkan ketenangan kedalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada)".
Diantara ketiga ayat yang dikutip diatas, ketika kita memperbincangkan masalah makna Nuzul dalam kaitannya dengan Nuzul al-Qur’an, menurut hemat penulis ayat yang pertamalah yang paling mendekati kebenaran, karena memang pada kenyataannya al-Qur’an itu diturunkan dari Allah merupakan kalam Allah yang tidak bisa diganggu gugat, bukan kalam orang lain. Dan tidaklah kita katakan bahwa al-Qur’an itu ‘ibarah dari kalamnya, dan apabila dibaca oleh seorang pembaca, tidaklah dikatakan kalam pembaca itu sendiri, karena kalam itu disandarkan kepada orang yang mengatakannya pada permulaan, bukan kepada orang yang menyampaikannya.
Kemudian pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah kalau al-Qur’an itu diturunkan, terus apanyakah yang diturunkan? Apakah lafadznya ataukah maknanya? Karena hal ini mengundang perdebatan dikalangan ulama, diantaranya ada yang berpendapat bahwa:
a.  Pendapat pertama, menetapkan bahwa yang diturunkan itu lafadz dan makna. Jibril menghafal al-Qur’an dari Lauh al-Mahfudz kemudian menurunkannya.
b. Pendapat kedua, menetapkan bahwa Jibril menurunkan maknanya saja. Rasul memahami makna-makna itu, lalu beliau menta’birkan dengan bahasa Arab.
c.  Pendapat ketiga, menetapkan bahwa Jibril menerima lalu Jibril mentakbirkannya dengan bahasa Arab. Dan ada paham bahwa isi langit membaca al-Qur’an itu dengan bahasa Arab. Lafadz Jibril itulah yang diturunkan kepada Nabi s.a.w.
Ketiga pendapat tersebut kalau kita tengok dalam al-Qur’an sebenarnya sudah dijelaskan. Hal ini juga terkait dengan al-Qur’an apakah ia sebagai lafadz atau makna. Diantaranya firman Allah dalam Q.S. Al-Buruj/85 : 21-22
بَلْ هُوَ قُرْءَانُ مَجِيْدٌ فِيْ لَوْحٍ مَحْفُوْظٍ
Terjemahannya:
“Tetapi dia (sebenarnya) Qur’an yang mulia (termaktub) di Lauh al-Mahfudz”.



Q.S. al-Buruj/85: 21-22
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ                            
Terjemahannya:
“Sesungguhnya al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul yang mulia”.
Q.S. al-Haqqah/69 :40.
¼çm¯RÎ) ãAöqs)s9 5Aqßu 5OƒÌx. ÇÍÉÈ  
Terjemahannya:
Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia,

Q.S. Asy-Syu’ara/26 : 193-194.
tAttR ÏmÎ/ ßyr9$# ßûüÏBF{$# ÇÊÒÌÈ   4n?tã y7Î7ù=s% tbqä3tGÏ9 z`ÏB tûïÍÉZßJø9$# ÇÊÒÍÈ  
Terjemahannya:
”Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan.
Ayat pertama dipahami oleh sebagian ulama bahwa al-Qur’an itu dinisbahkan kepada Allah. Allah menjadikannya di Lauh al-Mahfudz, sementara ayat kedua dipahami oleh sebagian ulama, bahwa lafadz al-Qur’an adalah lafadz Jibril, sementara ayat ketiga dipahami juga oleh sebagian ulama, bahwa lafadz al-Qur’an itu adalah lafadz Rasul sendiri. Kalau demikian, tentulah yang diturunkan kepada Nabi saw. adalah makna al-Qur’an, lalu Nabi menyebutnya dengan memakai lafadz Nabi sendiri.
Para muhaddits berpendapat bahwa, pendapat yang terdekat kepada kebenaran dan keagungan al-Qur’an, ialah pendapat yang pertama. Itulah yang lebih tepat dan lebih sesuai dengan kedudukan al-Qur’an sebagai kalamullah dan sebagai suatu mukjizat.

Al-Juwainy berkata: kalamullah itu (yang diturunkan) terbagi dua yaitu:
1.      Bahagian yang Allah sampaikan kepada Jibril: katakanlah kepada Nabi yang engkau diutus kepadanya, bahwa Allah swt., berkata begini, atau menyuruh mengerjakan begini, atau memerintahkan begini. Jibril memahami apa yang difirmankan oleh Allah swt., kemudian ia membawa turun kepada Nabi dan lalu menyampaikannya apa yang difirmankan Allah swt. kepadanya. Akan tetapi, bukan dengan ibarat yang didengar oleh Allah swt., yakni yang disampaikan itu hanya maknanya saja.
2.      Bahagian yang Allah sampaikan kepada Jibril: Bacalah kepada Nabi kitab ini, maka Jibril turun membawa yang disuruh baca itu dengan tidak mengubah lafadz. Hal ini serupa dengan utusan yang diserahkan kepadanya suatu surat dan diperintahkan ia membaca surat itu kepada orang yang dimaksudkan, maka yang membawa surat dan yang membacanya, tentulah membacanya persis sebagai isi surat sendiri, sedikitpun tidak berubah.
Al-Ashfahani mengatakan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa Ahlu Sunnah wal Jamaah telah sepakat bahwa kalamullah itu diturunkan, tetapi mereka berbeda pendapat dalam mengartikan inzal (turunnya) al-Qur’an. Sebahagian lagi mengatakan bahwa Allah mengilhamkan kalam-Nya kepada Jibril, dengan mengajarkan bacaan kalam itu kepada Jibril. Setelah itu Jibril melakukan bacaan tadi di bumi, yang sudah barang tentu ia turun ke bumi[28].
Ringkasnya, bahwa makna diturunkannya al-Qur’an ialah, diturunkannya dari alam gaib kedalam alam syahadah dengan jalan menzahirkan rupanya yang bersifat alam kepada para utusan-utusan (para malaikat yang dijadikan utusan), atau dengan jalan dilahirkan di Lauh al-Mahfudz, atau dihujamkan dalam jiwa Nabi. Beginilah makna diturunkan al-Qur’an yang dipegang oleh ulama khalaf. Sebagaimana juga diterangkan oleh pengarang al-Kulliyat, bahwa makna diturunkan al-Qur’an, bukanlah dia diangkat dari satu tempat kesatu tempat yang lain melainkan hanya maknanya saja, Jibril menurunkan apa yang ia pahami dari kalamullah di atas langit tujuh lalu turun untuk mengajarkan yang demikian kepada para Nabi di atas bumi.[29]




BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan di atas, pada bab penutup ini penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pengertian al-Qur’an   terdapat beberapa pendapat ulama sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, namun dapat disimpulkan bahwa, al-Qur’an   adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi saw, lafaz-lafaznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, diturunkan secara mutawa>tir, ditulis pada mushaf, dari awal sura al-Fatihah sampai akhir surat annas.
2.      Nuzulul Qur’a>n maknanya adalah turunnya al-Qur’an  , dalam pengertian “al-Qur’an  ” secara terminologi. Dan pembahasan Nuzulul al-Qur’an   adalah pembahasan tentang proses turunnya wahyu al-Qur’an   kepada Rasulullah saw.
3.        Proses turunnya al-Qur’an  dapat dibagi pada dua bagian: Pertama, turunnya secara sekaligus pada malam lai>latul qadr ke langit dunia. Kedua, turunnya secara bertahap kepada Nabi saw. melalui malaikat Jibril.
4.        Hikmah turunnya al-Qur’an   
a.       Untuk mengukuhkan hati Rasulullah saw.
b.      Sebagai tantangan dan manampakkan kemukjizatannya.
c.       Untuk memudahkan dihafal dan dipahami.
d.      Penyesuaian dengan peristiwa aktual yang terjadi, dan terciptanya kebertahapan pemberlakuan hukum.
e.      
23
 
Sebagai bukti adanya al-Qur’an   turun dari Allah.
f.        Untuk menjawab pertanyaan dan permasalahan yang muncul dikalangan kaum muslimin.
5.      Makna diturunkan al-Qur’an, bukanlah dia diangkat dari satu tempat kesatu tempat yang lain melainkan hanya maknanya saja, Jibril menurunkan apa yang ia pahami dari kalamullah di atas langit tujuh lalu turun untuk mengajarkan yang demikian kepada para Nabi di atas bumi.












DAFTAR PUSTAKA

 
 
Al-Ba>qy, Muhammad Fu’ad ‘Abd., al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Qur’an    al-Karim, Angkasa, ttp., tth.
Al-Qur’an    al-Karim.
al-Shiddiqy, T. M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1987 M.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, bulan Bintang, Jakarta: 1992.
Abu, Zaid, Hamid Nasr, Mafhum an-Nash, Diratsah fii ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh, Khoiron Nahdliyyin, dengan judul, Tekstualitas Al-Qur’an, Yogyakarta: LKIS, 2003.
 Anwar, Abu. Ulumul Qur’an sebuah pengantar, Cet. 1, Pekan Baru: PT. Amzah, 2002,
 As-Shalih Subhi, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996,
Az-Zarkasyi (Badaruddin Muhammad bin Abdillah), al-Burhan fi Ulumi al-Qur’an, Cet. III, Beirut: dar al-Ma’rifat li at-Tiba’ahwa an-Nasyr,1972,
Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azim, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid 1, Dar al-Fikr; Beirut: 1998,
Azzarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdullah,  Al-Burha>n fî ‘Ulu>mil Qur’a>n, Tahqiq Muhammad Abul Fadhl Ibrahim,  Cairo: Maktabah :Dar Al-Turats, Juz 1, h. 228.
Azzarqani, Mana>hilul ‘Irfa>n fî ‘Ulu>mil Qur’a>n, Tahqiq Fawwaz Ahmad Syarzali, Cet. III, Beirut-Libanon: Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, t.th. Juz 1
Dan, Shalahuddin Arqah, Ikhtisha>r Al-Itqa>n fî ‘Ulu>mil Qur’a>n li As-Suyu>thy, Cet.II, Beirut-Libanon: Dar An-Nafais, t.th.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (cet. III; Jakarta: PT. Intermasa, 1994), jil. IV
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, cet. III; Jakarta: PT. Intermasa, 1994, jil. IV.
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’a>n  Edisi Lengkap. Cet. II; Surabaya: Dunia Ilmu, t.th.
Muhammad, Aly Ash-Shabuny. At-Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Terjemahan, Pengantar Study Al-Qur’an, Jakarta: PT. Al-Ma’arif, 1982.
Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir, kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif 2002.
Mandzhur, Ibnu. Lisa>n al-‘Arab. Juz 14, Cet. I, Beirut: Dar Shadir,  2000 M.
25
 
Manna‘ Khalil al-Qatta>n. Maba>his fi> `Ulu>m al-Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.
Mardan, Al-Qur'a>n Sebuah pengantar memahami al-Qur'a>n secara utuh. cet.I, Jakarta:Pustaka Mapan, 2000.
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir, kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya: 2002.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an Kisah dan hikmah kehidupan, (cet. II; Bandung: Mizan, 1994
Syadali, Ahmad. dan Rofi’i, Ahmad, Drs., H., Ulumul Qur’a>n ,  Cet. III, Jil. I, Bandung: Pustaka Setia, 2006 M


[1] Manna‘ Khalil al-Qatta>n, Maba>his fi> `Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 95.
[2]Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash, Diratsah fii ‘Ulum al-Al-Qur’a>n, diterjemahkan oleh, Khoiron Nahdliyyin, dengan judul, Tekstualitas Al-Al-Qur’a>n, (Yogyakarta: LKIS, 2003).h. 68
[3]Ibid., h. 47
[4] M. Syakur Sf, ‘Ulumul al-Qur’an, (semarang : PKPI2-FAI Universitas Wahid Hasyim), 2007, h. 31-32
[5] Ibnu Mandzhur juga berpendapat sama dalam  hal ini, lihat Ibnu Mandzhur, Lisa>n al-‘Arab, (Juz 14, Beirut: Dar Shadir, cet. I, 2000 M), h. 237
[6] Majazi adalah istilah dalam bahasa Arab yang berarti kiasan.
[7] Sehubungan dengan makna ini, Azzarqani juga lebih memilih pendapat membawa makna nuzu>l kepada makna kiasan. Dia mengambil makna lain yaitu al-i’la>m (pemberitahuan). Lihat Azzarqani,  Mana>hilul ‘Irfa>n fî ‘Ulu>mil Qur’a>n, Tahqiq Fawwaz Ahmad Syarzali, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Beirut-Libanon, Cet. III, Juz 1, h. 38.
[8] Abdul Djalal, Ulumul Qur’a>n  Edisi Lengkap, (Cet. II; Surabaya: Dunia Ilmu, t.th). h. 49.
[9] Azzarqani,  Mana>hilul ‘Irfa>n fî ‘Ulu>mil Qur’a>n, Tahqiq Fawwaz Ahmad Syarzali,( , Cet. III, Juz 1, Beirut-Libanon, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi,tht) , h. 46.
[10] Lihat, Abdul Djalal, Ulumul Al-Qur’a>n, (cet. II, Surabaya: Dunia Ilmu, 1420 H/2000 M), h.63
[11] Abu Anwar, Ulumul Al-Qur’a>n Sebuah Pengantar, (Cet. III, Pekanbaru: Amzah, 2005), h.22
[12] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahnya. h. 1045.
[13] Abdul Djalal, Op. Cit. h. 49.
[14] Malam yang diberkahi ialah malam al-Qur’a>n pertama kali diturunkan. di Indonesia umumnya dianggap jatuh pada tanggal 17 Ramadhan.
[15] Departemen Agama, op. cit., h.808.
[16] Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam Lailatul Qadr yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, Karena pada malam itu permulaan Turunnya al Quran.
[17] Program al-Qur’an in word
[18] Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (cet. III; Jakarta: PT. Intermasa, 1994), jil. IV, h. 134.
[19] Azzarkasyi, Al-Burha>n fî ‘Ulu>mil Qur’a>n, Tahqiq Muhammad Abul Fadhl Ibrahim,  (Juz 1, Cairo: Maktabah Dar Al-Turats, ), h. 228.
[20] Shalahuddin Arqah Dan, Ikhtisha>r Al-Itqa>n fî ‘Ulu>mil Qur’a>n li As-Suyu>thy, (, Cet.II,  Beirut-Libanon: Dar An-Nafais, t.th.) , h. 45.
[21] Ibid., h.54-55
[22] Ibid., h. 54-55
[23] Manna‘ Khalil al-Qattan, Op.cit, h. 102-111
[24] Ibid., h. 102-111
[25]Muhammad Abd al-Azim Al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Jilid 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1998), h. 60
[26] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, kamus Arab-Indonesia, (Pustaka Progressif, Surabaya: 2002), h. 168
[27] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: bulan Bintang,  1992), h. 45

[28] As-Shalih Subhi, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus,( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 90
[29]Abu Anwar, Ulumul Qur’an sebuah pengantar, (Cet. 1, Pekan Baru: PT. Amzah, 2002),h. 50

1 komentar:

  1. sungguh anugrah yang tiada tandingannya telah diturubkan alquran untuk petunjuk hidup kita manuasia.

    BalasHapus